Selasa, 07 Mei 2013

Seputar Macrobrachium Rosenbergii

Udang galah (Macrobrachium Rosenbergii de Man) atau dikenal juga sebagai Giant Freshwater Shrimp merupakan salah satu jenis Crustacea, dari famili Palaemonidae yang mempunyai ukuran terbesar dibandingkan dengan udang air tawar lainnya. Komoditas ini diklaim oleh berbagai negara sebagai fauna asli, antara lain oleh India dan Indonesia. Di Indonesia, udang galah dapat ditemukan di berbagai wilayah dan masing-masing memiliki varietas dengan ciri tersendiri. Misalnya, udang galah dari Sumatera dan Kalimantan memiliki ukuran kepala besar, capit panjang, dan berwarna hijau kuning. Udang galah dari Jambi memiliki ukuran kepala lebih kecil, capit kecil dan berwarna keemasan. Perbedaan terutama pada "galah" yang didapati hanya pada udang galah jantan.
Di Indonesia komoditi ini dikembangkan antara lain oleh Lembaga Penelitian Perikanan Darat Pasar Minggu, Jakarta; Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (Puslit Limnologi LIPI) dan beberapa lembaga di bawah Departemen Kelautan dan Perikanan antara lain: Balai Penelitian Perikanan Air Tawar di Sukamandi, Unit Pengembangan Udang Galah Pamarican, Ciamis dan Balai Budidaya Air Tawar di Sukabumi. Salah satu penelitian yang dilakukan memberikan hasil yang menggembirakan dengan diperkenalkannya strain udang galah jenis unggul (GI Macro) oleh Menteri Kelautan dan Perikanan pada 24 Juli 2001.
Selain penelitian mengenai strain udang galah unggul, upaya lain yang dilakukan oleh Pemerintah untuk mengembangkan udang galah adalah dengan melakukan optimalisasi hatchery melalui perbaikan manajemen induk; dan manajemen kesehatan dan lingkungan. Disamping itu, dilakukan pula pengkajian wilayah potensi pengembangan udang galah guna mengembangkan kawasan terpadu mulai dari sub sistem pembenihan, pendederan dan pembesaran hingga pasca panen.

(Pola Pembiayaan Budidaya Pendederan dan Pembesaran Udang Galah (Syariah)

Jumat, 19 April 2013

4.Nilai sikap dan karakter apa yang harus ditumbuhkan pada siswa ketika belajar konsep-konsep dalam ekologi hewan? Berikan contoh riilnya!

Mata Kuliah Ekologi Hewan berguna bagi siswa dalam memahami bagaimana interelasi hewan dengan lingkungan biotik maupun abiotik. Interelasi antara hewan dengan lingkungannya ini merupakan proses interaksi dengan alam sekitar untuk pemenuhan kebutuhan. Interelasi ini juga menggambarkan tatanan kinerja fungsi komponen lingkungan yang saling menghargai dan senantiasa dalam keseimbangan. Oleh karena itu untuk memahami tatanan interelasi tersebut diperlukan kajian tentang ekologi. Interelasi ini biasanya menggambarkan keadan hewan yang sangat tergantung pada faktor-faktor abiotik maupun biotic dan sebaliknya hubungan kedua faktor tersebut dengan hewan itu sendiri. Dengan demikian, Siswa dapat menerapkan peranan ekologi hewan bagi manusia, permodelan, pendekatan serta aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, siswa dapat mengamati langsung interelasi hewan dan lingkungannya sehingga dapat menentukan, mengestimasi serta dapat menghitung populasi dan energi dalam ekosistem baik di lapangan maupun di laboratorium. Hal ini sangat berguna dalam hal pengambilan dan penentuan kebijakan dalam penerapnnya di lapangan, karena sangat berhubungan dengan keadaan dan sifat-sifat hewan. Kegunaan lain adalah siswa dapat menerapkan sistem dan strategi-strategi tersebut baik dalam kehidupan sehari-hari maupun di kemudian hari. Konsep yang merupakan cakupan dalam ekologi hewan ialah Individu, populasi, komunitas, ekosistem, dan ekologi itu sendiri dalam lingkup luas.
Nilai sikap dan karakter yang perlu ditumbuhkan kepada siswa terleih dahulu menanamkan rasa peduli, kasih, dan suka terhadap hewan dengan demikian akan menjadi langkah awal selanjutnya untuk lebih mendalami dan menghargai suatu kehidupan khususnya dalam lingkup ekologi hewan tersebut. Setelah mampu memahami konsep-konsep tersebut dan menanamkan rasa tersebut ialah dimaksudkan agar siswa dapat lebih ikut berpartisipasi dalam pelestarian ekologi hewan dan pelestarian hewan disekitar lingkungan kita. Selain itu, menumbuhkan rasa peduli yang tinggi terhadap interaksi-interaksi yang seharunya dilakukan dengan sesama makhluk tuhan (antara manusia-hewan). Sebagai insane tuhan yang beraka pikiran kita harus mampu menjaga pelestarian hewan dan ekologinya agar ketahanan dan kelangsungan hidup hewan tersebut untuk seterusnya. Contohnya dengan adanya perkumpulan atau organisasi konservasi-konservasi yang dilakukan demi kelangsungan hewan-hewan langka dan ikut berpartisipasi dalam perkumpulasn tersebut. Selain itu, banyak hal yang dapat dipetik oleh para siswa dan belajar tentang makna dan kerasnya suatu kehidupan dengan saling menerima aksi-reaksi sebagai umpan balik. Selain itu, kita bisa dapat menghargai suatu kehidupan dengan sikap tidak melakukan ekspoitasi terhadap beberapa spesies hewan, dan sebaliknya kita memperlakukan hewan tersebut berdasar apa yang sepantasnya mereka dapatkan. Karena pada hakikatnya semua makhluk hidup mempunyai hak ntuk mendapatkan porsi keseharusan hidupnya masing-masing termasuk hewan. Dengan kita belajar untuk menghargai serta mengasihi terhadap hewan secara tidak lansung kita akan terbawa untuk lebih menghargai dan mengasihi sesama manusia yang notabene selalu menjalin interaksi social agar tercipta suasana yang harmonis dan saling mengasaihi tanpa adanya perpecahan dan peperangan.

6.Apakah manfaat pengetahuan tentang relung bagi aktivitas konservasi? Berikan salah satu contoh hewan langka, lakukan kajian tentang relungnya. (dalam satu kelas, hewan yang dikaji tidak boleh sama)!


Relung (niche) dalam ekologi merujuk pada posisi unik yang ditempati oleh suatu spesies tertentu berdasarkan rentang fisik yang ditempati dan peranan yang dilakukan di dalam komunitasnya. Konsep ini menjelaskan suatu cara yang tepat dari suatu organisme untuk menyelaraskan diri dengan lingkungannya. Habitat adalah pemaparan tempat suatu organisme dapat ditemukan, sedangkan relung adalah pertelaan lengkap bagaimana suatu organisme berhubungan dengan lingkungan fisik dan biologisnya. Ekologi dari suatu individu mencakup variabel biotik (makhluk hidup seperti tumbuhan, hewan, manusia, baik yg mikro maupun yg makro) dan abiotik (benda tidak hidup). Relung menentukan bagaimana spesies memberi tanggapan terhadap ketersediaan sumberdaya hidup dan keberadaan pesaing dan pemangsa dalam suatu ekosistem. Dimensi relung adalah toleransi terhadap kondisi-kondisi yang bervariasi (kelembapan, pH, temperatur, kecepatan angin, aliran air, dan sebagainya) dan kebutuhannya akan sumber daya alam yang bervariasi. Di alam, dimensi relung suatu spesies bersifat multidimensi. Contohnya pada konservasi badak bercula satu (Rhinoceros sondaicus). Langkah pertama yang dilakukan sebelum melakukan konservasi tersebut, terlebih dahulu kita harus mengetahui secara detail bagaimana konsep semua relung yang mendukung kelangsungan hidup spesies tersebut. Dimulai dari konsep relung reproduksi, makanan, perilaku, dan habitatnya. Semua cakupan relung tersebut sebisa mungkin harus sama dan dengan relung habitat aslnya di alam sebelum dipindahkan dalam kawasan konservasi tersebut. Berikut penjabarannya.
Relung Reproduksi :
Sifat seksual badak Jawa sulit dipelajari karena spesies ini jarang diamati secara langsung dan tidak ada kebun binatang yang memiliki spesimennya. Betina mencapai kematangan seksual pada usia 3-4 tahun sementara kematangan seksual jantan pada umur 6. Kemungkinan untuk hamil diperkirakan muncul pada periode 16-19 bulan. Interval kelahiran spesies ini 4–5 tahun dan anaknya membuat berhenti pada waktu sekitar 2 tahun. Empat spesies badak lainnya memiliki sifat pasangan yang mirip.
Relung Habitat dan perilaku :
Perkiraan yang paling optimistis memperkirakan bahwa lebih sedikit dari 100 badak Jawa masih ada di alam bebas. Mereka dianggap sebagai mamalia yang paling terancam; walaupun masih terdapat badak Sumatra yang tempat hidupnya tidak dilindungi seperti badak Jawa, dan beberapa pelindung alam menganggap mereka memiliki risiko yang lebih besar. Badak Jawa diketahui masih hidup di dua tempat, Taman Nasional Ujung Kulon di ujung barat pulau Jawa dan Taman Nasional Cat Tien. Badak Jawa hidup di hutan hujan dataran rendah, rumput tinggi dan tempat tidur alang-alang yang banyak dengan sungai, dataran banjir besar atau daerah basah dengan banyak kubangan lumpur. Walaupun dalam sejarah badak jawa menyukai daerah rendah. Badak jawa adalah binatang tenang dengan pengecualian ketika mereka berkembang biak dan apabila seekor inang mengasuh anaknya. Kadang-kadang mereka akan berkerumun dalam kelompok kecil di tempat mencari mineral dan kubangan lumpur. Berkubang di lumpur adalah sifat umum semua badak untuk menjaga suhu tubuh dan membantu mencegah penyakit dan parasit. Badak jawa tidak menggali kubangan lumpurnya sendiri dan lebih suka menggunakan kubangan binatang lainnya atau lubang yang muncul secara alami, yang akan menggunakan culanya untuk memperbesar. Tempat mencari mineral juga sangat penting karena nutrisi untuk badak diterima dari garam. Wilayahi jantan lebih besar dibandingkan betina dengan besar wilayah jantan 12–20 km² dan wilayah betina yang diperkirakan 3–14 km². Wilayah jantan lebih besar daripada wilayah wanita. Tidak diketahui apakah terdapat pertempuran teritorial.
Relung Makanan :
Badak jawa adalah hewan herbivora dan makan bermacam-macam spesies tanaman, terutama tunas, ranting, daun-daunan muda dan buah yang jatuh. Kebanyakan tumbuhan disukai oleh spesies ini tumbuh di daerah yang terkena sinar matahari: pada pembukaan hutan, semak-semak dan tipe vegetasi lainnya tanpa pohon besar. Badak menjatuhkan pohon muda untuk mencapai makanannya dan mengambilnya dengan bibir atasnya yang dapat memegang. Badak Jawa adalah pemakan yang paling dapat beradaptasi dari semua spesies badak. Badak diperkirakan makan 50 kg makanan per hari. Seperti badak Sumatra, spesies badak ini memerlukan garam untuk makanannya. Tempat mencari mineral umum tidak ada di Ujung Kulon, tetapi badak Jawa terlihat minum air laut untuk nutrisi sama yang dibutuhkan.
Hal-hal tersebut merupakan cakupan ulasan relung yang perlu disediakan bagi para konservator yang akan dipersiapkan untuk konservasi badak bercula satu. Dengan  demikian, dengan mempertimbangkan beberapa konsep relung tersebut diharapkan dapat bermanfaat dan dapat menyajikan konsep relung yang sama antara relung alami dan relung konservasi badak tersebut.

5.Uraikan satu contoh pemanfaatan indikator hewan untuk monitoring kondisi lingkungan secara mendetail, mulai dari jenis, prinsip dan praktik pemanfaatannya!

 Pembahasan :

Berdasarkan literature, Terbagi atas tiga macam indikator biologi yakni :
1. Jenis indikator, dimana kehadiran atau ketidakhadirannya mengindikasikan terjadinya perubahan di lingkungan tersebut. Jenis yang mempunyai toleransi yang rendah terhadap perubahan lingkungan (Stanoecious) sangat tepat digolongkan sebagai jenis indikator. Apabila kehadiran, distribusi serta kelimpahannya tinggi maka jenis tersebut merupakan indikator positif, sebaliknya ketidakhadiran atau hilangnya jenis tersebut merupakan indikator negatif
2. Jenis monitoring, mengindikasikan adanya polutan di lingkungan baik kuantitas maupun kualitasnya. Jenis Monitoring bersifat sensitif dan rentan terhadap berbagai polutan, sehingga sangat cocok untuk menunjukan kondisi yang akut dan kronis.
3. Jenis uji, adalah jenis yang dipakai untuk mengetahui pengaruh polutan tertentu di alam.
Penggunaan serangga sebagai indikator kondisi lingkungan atau ekosistem yang ditempatinya telah lama dilakukan. Jenis serangga mulai banyak diteliti karena bermanfaat untuk mengetahui kondisi kesehatan suatu ekosistem. Serangga akuatik selama ini paling banyak digunakan untuk mengetahui kondisi pencemaran air pada suatu daerah, diantaranya adalah beberapa spesies serangga dari ordo Ephemeroptera, Odonata, Diptera, Trichoptera , Plecoptera,Coleoptera,family Scarabidae , Cicindeliadae, Carabidae(Spellerberg,1995). Adapun untuk serangga daratan (‘terrestrial insect’) studi sejenis telah banyak dilakukan pada berbagai kawasan hutan di berbagai negera termasuk di kawasan hutan tropis.
Salah satunya ialah peranan Kumbang Bubuk (Sitophilus zeamais Motsch.) yang digunakan sebagai bioindikator hutan. Kumbang bubuk banyak digunakan dalam studi bioindikator terhadap tingkat kerusakan hutan karena mereka memiliki peran ekologis yang penting dalam ekosistem hutan tropis. Kumbang ini bersama dengan serangga lainnya merupakan organisme dekomposer yang sangat penting, sehingga menentukan ketersediaan unsur hara bagi vegetasi hutan. Mereka juga terlibat dalam penyebaran biji-biji tumbuhan dan pengendalian parasit vertebrata (dengan menghilangkan sumber infeksi). Distribusi lokal dari kumbang bubuk sangat dipengaruhi oleh tingkat naungan vegetasi dan tipe tanah. Selain itu struktur fisik habitat menjadi faktor penting yang mempengaruhi komposisi dan distribusi kumbang bubuk.
Oleh karena itu kelompok serangga ini merupakan indikator yang berguna untuk menggambarkan perbedaan struktur (bentuk arsitek, abiotik) antara habitat. Jadi berbeda dengan serangga lainnya yang menggambarkan perbedaan floristik (Komposisi spesies,biotik) suatu habitat melalui spesialisasi herbivora (seperti pada ngengat dan kupu - kupu). Dengan demikian kumbang bubuk ini digunakan sebagai bioindikator lingkungan terutama dalam ekosistem hutan. Bioindikator tersebut bertujuan untuk mengetahui seberapa parah kerusakan hutan yang terjadi. Dengan tingkat prevalensinya yang sedikit menandakan bahwa frekuensi kehadiran kumbang di hutan juga sedikit. Indikasi ini menandakan semakin sedikitnya populasi kumbang bubuk disuatu hutan berarti berkaitan dengan kondisi kerusakan di dalam hutan yang terjadi. Karena merasa dengan keadaan kerusakan hutan yang mengancam mengakibatkan populasi kumbang bubuk banyak bermigrasi dan hanya sedikit menempati hunian hutan tersebut. Disisi lain karena kesediaan bahan makanan yang semakin menipis menjadi salah faktor pemicu rendahnya populasi kumbang bubuk pada suatu hutan.
Peran serangga sebagai bioindikator ekosistem hutan telah didemonstrasikan dengan baik oleh Klein (1989) yang menguji peran kumbang bubuk dari ordo Coleopterafamili Scarabidae terhadap dekomposisi kotoran hewan pada habitat yang berbeda yakni hutan alami, hutan terfragmentasi dan padang rumput (bekas hutan tebangan) di Amazon bagian Tengah (Central Amazon ). Laju penguraian kotoran hewan menurun sekitar 60 % di hutan alam dibandingkan padang rumput. Meskipun kelimpahan kumbang bubuk pada ketiga habitat tersebut tidak berbeda nyata namun terjadi penurunan sekitar 80 % jumlah jenis kumbang bubuk di padang rumput. Hal ini menegaskan bahwa setiap jenis kumbang bubuk memiliki peran yang cukup penting dibandingkan jenis lainnya sehingga semakin tinggi biodiversitas kumbang bubuk dan serangga lainnya menunjukan kestabilan ekosistem hutan yang semakin mantap.


3.Jelaskan aplikasi konsep interaksi populasi, khususnya parasitisme dan parasitoidisme, dalam pengendalian biologis. Berikan contohnya!

Pembahasan :

Interaksi populasi merupakan interaksi yang terjadi antara satu spesies satu dengan yang lainnya yang nantinya akan menghasilkan suatu hubungan dan simbiosis antar keduanya, bisa terjalin simbiosis mutualisme ataupun sebaliknya parasitisme. Kajian pembahasan ini akan lebih mengacu pada parasitisme dan parasitodisme. Parasitisme merupakan kondisi simbiosis yang menghadirkan satu organisme mengalami keuntungan dan pihak lainnya merasa dirugikan akibat pemanfaatan inangnya tersebut. Contohnya, Parasit serangga berkembang di dalam atau di luar individu serangga inang atau pada telur suatu inang yang dihuninya untuk mendapatkan asupan nutrisi dan makanannya. Sedangkan pada parasitoidisme yaitu untuk parasit pada serangga dikarenakan cukup berbeda dari parasit yang sebenarnya untuk memberikan kekhususan. Beberapa cirri-ciri hewan ini ialah : Selama perkembangan suatu individu parasitoid merusak individu inang,   Inang biasanya pada tingkat taksonomi class yang sama, Parasitoid pada umumnya ukurannya hampir sama dengan inangnya, Bersifat parasit pada saat larva saja; dewasanya hidup bebas, Tidak memperlihatkan heterocism (hidup dalam satu spesies inang dan spesies lainnya), dan Aksinya menyerupai predator yang lebih dari parasit sesungguhnya dalam dinamika populasi hama. Konteks antara parasitisme dan parasitodisme sesungguhnya sama, akan tetapi dapat dikatakan bahwa simbiosis yang parasitodisme merupakan simbiosis yang lebih menguntungkan bagi petani untuk pengendalian hama pertanian. Hal ini dapat dikaitkan dalam biocontrol untuk hama pertanian dengan cakupan parasitoid, predator, dan patogen (musuh alami) untuk mengurangi populasi hama. Kebanyakan serangga ataupun tungau tidak disebut sebagai hama dikarenakan secara alami terjadi pengendalian biologi secara alami yang menekan populasi organisme tanpa bantuan dari manusia. Dengan demikian konsep parasitoid ini sangat menguntungkan bagi manusia, terutama bagi petani di sawah, karena tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk pemusnahan hama di sawah melainkan merupakan usaha alami yang nyatanya telah terjadi begitu saja di lingkungan tersebut. Keadaan seperti ini ada kaitannya dengan pengendalian biologis yang dilakukan, dengan semakin memperbanyak interkasi parasitodisme ini maka semakin menguntungkan pihak petani dalam pengendalian hama pertanian. Interaksi parasitodisme ini mampu menekan adanya penyebaran hama semakin luas dan keadaan pertanian dan hasilnya optimal.
Contohnya pada  Pengendali hayati gulma dengan patogen (kapang dan bakteri) dan ikan herbivore. Penggunaan kapang karat berhasil digunakan pengendalian gulma kerangka di Australia Tenggara. Ikan herbivora yaitu ikan koan (Ctenopharyngodon idella) triploid yang steril. Hal tersebut dapat mengendalikan gulma air. Pengendalian hayati terhadap penyakit tanaman melibatkan penggunaan agen pengendali kapang dan bakteri berfungsi menyerang dan mengendalikan patogen tanaman serta penyakit yang ditimbulkannya.